Banci dan Eksploitasi

"Ayo, ke Taman Lawang!" Ajakan itu kerap saya dan saudara-saudara saya cetuskan kala kami masih anak-anak. Kami begitu bersemangat ingin melihat banci. Semata karena kami masih anak-anak. Ingin tahu. Laki-laki berdandan seperti perempuan adalah hal baru dan "seru" bagi kami. Tapi, itu dulu ....

Saya baru saja mengikuti sebuah acara unjuk kemampuan. Tiga kelompok peserta memilih menghadirkan sosok banci dalam performa mereka.

Ada yang masih memakai baju laki-laki, tetapi gerak tubuh dan cara berbicaranya dibuat gemulai.

Ada yang ekstrem, berubah menjadi banci. Kepala menggunakan wig rambut panjang. Bibir dipoles merah. Mengenakan rok mini dan atasan berpotongan di atas pusar. Dan, banci jadi-jadian itu menampilkan tarian perut. Sungguh mengejutkan! Mengapa laki-laki mau memerankan diri jadi banci, meskipun hanya untuk "seru-seruan"?

Dan yang paling membuat saya terhenyak, para pemirsa sangat terhibur. Penampilan banci-bancian mendapat tepuk tangan paling meriah. Pengalaman itu mengusik saya. Tidak adakah lagi materi hiburan selain dunia banci?

Setali tiga uang dengan profesi perempuan/laki-laki panggilan, seorang laki-laki menjadi banci tidak melulu karena ia suka menjadi banci. Bisa jadi ia terpaksa menjadi banci karena tidak punya pilihan profesi. Justru karena ada permintaan, profesi banci penghibur masih ada, bahkan makin banyak.

Satu hal lagi. Ketika banyak penonton laki-laki yang sangat menikmati tarian banci, menurut saya, saat itu pula tubuh perempuan lagi-lagi dijadikan objek seks, dieksploitasi secara seksual. Para lelaki memang sedang melihat laki-laki menari erotis. Namun, para penari itu muncul dalam sosok perempuan ....

Related Posts

Posting Komentar