Belajar di Dalam Bus

Akhir pekan tiba. Saya mengajak bocah jalan-jalan. Nonton film di bioskop dan... ke mbloc space. Penasaran, apa sih yang bikin anak-anak muda suka datang ke sana?

"Naik apa kita?" tanyanya.

"Naik Transjakartalah."

"Yaaah." Wajahnya muram. Kemudian, ia mengusulkan naik taksi online mengingat ayahnya sedang mau me time di rumah. "Capek tahu naik bus."

Saya memberinya argumentasi. Ada TJ yang langsung menuju lokasi tujuan kami. Naik transportasi massal juga jauh lebih murah daripada naik taksi online. Yang penting lagi, gak repot cari parkir. Sabtu gitu loh. Banyak yang keluar rumah.

Alasan lain, saya ingin, anak belajar menggunakan kendaraan umum. Supaya tidak kaget jika kelak tiba waktunya ia harus naik transportasi massal.

Akhirnya, ia mengalah.

Belajar di Luar Kelas

Benar sekali pendapat yang mengatakan kalau belajar tidak melulu di dalam kelas. Di dalam kendaraan umum pun kita bisa belajar banyak.

1. Menaati Peraturan
Tidak hanya bus Transjakarta ukuran besar, minibus (bus pengumpan) dan angkot yang sudah terintegrasi dalam sistem Transjakarta, tidak boleh mengangkut penumpang di sembarang tempat. Jadi, calon penumpang mesti menunggu di halte atau tempat-tempat yang bertanda rambu bus stop:



Coba saja menunggu di tempat yang tidak ditentukan, dijamin sia-sia.

2. Jujur
Penumpang yang naik dari terminal Blok M, misalnya, harus melewati satu mesin pembayaran menggunakan kartu uang elektronik. Setelah itu, baru bisa memilih jalur keberangkatan yang diinginkan.

Setelah berangkat dari terminal, minibus yang tidak lewat jalur khusus Transjakarta, akan mengambil penumpang dari tepi jalan (tidak melalui halte). Para penumpang inilah yang harus membayar di dalam bus. Dengan uang tunai atau kartu uang elektronik.


Kondektur tidak menarik pembayaran setiap kali penumpang naik. Biasanya, setelah bus penuh sehingga kondektur perlu mengingat, mana penumpang yang naik di terminal, mana yang tidak.

Kejujuran penumpang justru teruji ketika kondektur tidak selalu bisa ingat hal di atas. Sayangnya, masih ada saja loh penumpang yang pura-pura berangkat dari terminal supaya tidak bayar.

3. Peduli Sesama

Namanya juga naik transportasi massal, bukan kendaraan pribadi.  Jadi, masing-masing penumpang kudu menjaga kenyamanan berkendara bersama. Suka-suka gue atau emang gue pikirin gak berlaku.

Bayar ongkos untuk satu orang? Boleh tempati 1 tempat duduk. Kalau bawa anak, adik, atau ponakan yang udah gak bisa dipangku, bayarin juga, ya, mereka.

Gak hamil, belum lansia dan gak bawa bayi atau anak? Jangan duduk di kursi prioritas (warna merah atau oranye), ya. Itu namanya merebut hak orang lain.



Bawa ransel besar? Kalau kalau berdiri, gendong ransel di dada supaya tidak menghalangi jalan.

Duduk? Kaki jangan terentang ke depan. Bisa-bisa, orang terselengkat.

Buat cowok-cowok nih, duduk jangan ngangkang selebar-selebarnya. Gak asik dilihat dan bikin sempit penumpang di samping.

Kalau tidak dapat tempat duduk dan masih jauh turunnya, pliiis jangan berdiri di depan pintu. ngalangin orang yang mau masuk atau keluar bus.

Ngobrol dan tertawa? Boleh, dong. Asalkan gak keras-keras.

Mau turun? Siap-siap 1 halte sebelumnya atau sebelum bus benar-benar berhenti di halte tujuan. Sering kali, karena terburu-buru, penumpang yang turun jadi kayak banteng yang seruduk sana, seruduk sini. *Kejadian nih sama penumpang di sebelah saya waktu saya menuliskan hal ini.

Terakhir, tetapi sama pentingnya, ingat mandi dahulu dan pakai baju yang bersih, ya. Bepergian dengan bus, kita harus siap desak-desakan, harus siap berdiri dengan tangan terentang ke atas, berpegangan pada sabuk.


Kebayang, kan, kalau ada ketiak yang menyebarkan aroma tak sedap?

4. Menghemat
Sepupu saya ikutan. Kami janjian bertemu di lokasi. Ia naik taksi online. Ongkosnya 80-an ribu. Saya dan bocah naik angkot jaklingko ke halte nol rupiah (masih dalam masa promosi) plus naik minibus 7 ribu. Asyik, kan?!














Related Posts

Posting Komentar