Paperless Concert, Musik Asyik ala Taman Suropati Chamber



Sudah pernah dengar tentang Taman Suropati Chamber? Saya pernah, tepatnya baca di surat kabar. Taman Suropati Chamber adalah kelompok pemusik yang dibentuk dan berlatih di Taman Suropati. Tapi, saya belum pernah menyaksikan dan mendengar permainan nada mereka. Jadi, ketika mendapat info bahwa Taman Suropati Chamber akan mengadakan konser, saya langsung tertarik untuk menghadiri. 

Maunya saya juga, setelah melihat konser tersebut, anak saya akan terinspirasi untuk lebih intens berkarya seni musik. Alasan ketiga, saya dan keluarga punya kesempatan untuk melakukan kegiatan bersama yang menghibur, tapi tetap edukatif. 

O, iya, waktu reservasi online, saya sempat panik. Sebagian besar tempat duduk yang strategis sudah dipesan. Ukuran tubuh anak jadi pertimbangan. Jangan sampai pandangannya ke panggung terhalang badan penonton dewasa. Syukurlah, kami masih dapat tempat duduk di deretan ke-4 dari depan, meskipun tidak persis di tengah.

Begitulah. Akhirnya, selasa malam, 19 Mei lalu, saya sekeluarga menjejakkan kaki di Gedung Kesenian Jakarta. Di teras, kami disambut dengan permainan musik keroncong oleh beberapa personil Taman Suropati Chamber. Perempuan semua dan muda belia! 

Memainkan welcoming music sembari
pemanasan sebelum konser dimulai/Dok. Pribadi

Pukul 8 lewat beberapa menit, seorang pria naik ke atas panggung. Rambutnya yang panjang dan keriting, digerai. Kumis yang melintang di atas bibirnya membuatnya mirip Ki Bodo. Dia adalah Agustinus Esti Sugeng Dwi Harso. Biasa disebut 'Ages (Anak gesek)', sang pendiri Taman Suropati Chamber. Ages menyapa ramah para hadirin. Pembawaan Ages ternyata tidak se’seram’ perawakannya. Don't judge the book by the cover, indeed. Daaan, senyuman tulus memang senjata ampuh untuk mencairkan suasana.

Paperless Concert: Getting Closer to Nature digelar untuk merayakan sewindu berdirinya Taman Suropati Chamber, papar Ages. Semua anggota grup musik taman pertama di Indonesia itu dilibatkan. Bagi yang belum tahu, keanggotaan Taman Suropati Chamber terbuka bagi berbagai usia dan profesi. Namun, tentu saja para anggota dikelompok-kelompokkan menurut tingkat kemampuan bermain musik mereka. Ada kelas bibit, akar, ranting, dahan, dan batang. Unik, ya, penamaannya!

Dari tempat duduknya yang beralaskan tas ransel yang ditekuk, anak saya menatap lekat 30-an anak yang memainkan lagu Matahari Bersinar, Lihat Kebunku dan Kupu-kupu yang Lucu dengan biola. Mereka adalah anak-anak kelas bibit. Walaupun masih kecil-kecil, mereka tidak terlihat grogi, lho. Semua percaya diri.

Kelas bibit beranggotakan anak-anak usia 4-8 tahun dan orang-orang dewasa yang baru belajar main biola. Hmm, kalau saya bergabung dalam Taman Suropati Chamber, saya bakal sekelas dengan mereka. Aduh, saya bisa mati gaya.

Lebih hebatnya lagi, semua anak kelas bibit hafal luar kepala nada-nada yang harus dimainkan. Tidak ada partitur, kertas bertuliskan not-not balok. Paperless Concert dipilih menjadi nama konser malam itu, bukan tanpa alasan. Menurut Ages, murid-muridnya sering lupa membawa partitur saat latihan. 

Pasti sudah tahu, kan, kalau makin banyak kertas yang diproduksi, makin banyak pohon yang harus ditebang. Selain itu, jumlah sampah jadi bertambah. Menghemat kertas adalah salah satu cara kita menjaga lingkungan alam.

Ages juga ingin melatih kemampuan semua anggota chamber mendengarkan orang lain bicara. Tanpa partitur, semua anggota harus menyimak pelatih serta dengar-dengaran dengan anggota yang lain agar paduan nada mereka harmonis. Inspiratif!

Selain kelas bibit, kelas akar serta ensemble dari kelas batang, dahan dan ranting, juga tampil. Tak ketinggalan, ensemble anak-anak YPAC, musik keroncong kelompok Batavia Mood, dan orkestra SMA Tarakanita 1. Last but not least, gitaris Jubing Kristianto serta pedalang dan pelukis Ki Fathur Gamblang juga mengisi acara.  


Ki-ka: anak-anak kelas bibit, Ages,
para penari dari SMA Tarakanita 1,
dan Ki Fathur Gamblang / Dok. Pribadi


Taman Suropati Chamber didirikan untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan melalui lagu-lagu nasional. Tak heran, lagu-lagu yang dimainkan malam itu, pun demikian. Sebut saja, Burung Kutilang ciptaan Ibu Soed, Memandang Alam ciptaan A.T. Mahmud, Desaku ciptaan L. Manik, dan Nyiur Hijau ciptaan Maladi. Ada pula Burung Camar ciptaan Iwan Abdurachman, Di Tepi Sungai Serayu ciptaan R. Soetedja, Lestari Alamku ciptaan Gombloh, Keroncong Kemayoran, dan Sabda Alam yang dipopulerkan oleh Chrisye.

Lagu-lagu asing juga dimainkan, kok, seperti Green Leaves, Happening, Edelweiss, dan Heal The World.

Saya suka banget kolaborasinya dengan gitaris Jubing Kristianto, membawakan lagu Burung Camar. Santai, fun dan asyik! Keduanya bermain sambil berdiri. Alat musik di tangan mereka sudah seperti mainan saja. Tak ada kesan jlimet.

Penampilan mereka tambah seru karena saat mereka bermain alat musik, Ki Fathur Gamblang, dengan gesit melukis suasana ruang konser malam itu. Saat mereka selesai bermain, selesai pula lukisan Ki Fathur dibuat.  

Sayang sekali, saya tidak bisa mendokumentasikan karena ada larangan memotret selama konser berlangsung. Foto yang berhasil saya dapatkan seusai konser pun tidak maksimal karena cahaya di ruangan kurang.


Dua seniman musik, Jubing Kristianto dan Ages
mengapit Menteri ESDM, Sudirman Sahid / Dok. Pribadi


Sebagai penutup, seluruh pengisi acara tampil di depan, memainkan lagu Nyiur Hijau. Jadi terharu ketika Ages mengajak semua hadirin ikut menyanyi bersama seorang solois cilik:

“Nyiur hijau di tepi pantai
, siar, siur, daunnya melambai. Padi mengembang, kuning meraya. Burung-burung bernyanyi gembira. Tanah airku, tumpah darahku. Tanah yang subur, kaya makmur. Tanah airku, tumpah darahku. Tanah yang indah, permai nyata.”

Kesempatan menyanyikan lagu wajib kita sambil diiringi live orchestra music berunsurkan piano, biola, cello, gitar, dan flute, enggak datang sering-sering, kan?

Meski pulang larut malam, saya puas dengan konser tersebut. Pengalaman yang menyenangkan, deh! Taman Suropati Chamber, great job!


Related Posts

Posting Komentar