Musuh Jadi Sahabat. Bisakah?

Pernahkah kau dipenjara? 
Pernahkah kau terpenjara? 
Aku pernah. Dua-duanya. 
Yang pertama 
menyebabkan yang kedua. 

Aku dan teman-temanku 
menjadi tawanan perang Jepang 
pada masa Perang Dunia II. 
Kami dipaksa bekerja 
membuat rel kereta api. 
Kami ditindas, fisik dan jiwa. 

Kami sadar, 
pengharapan adalah 
satu-satunya obat 
peringan penderitaan, 
jalan untuk bertahan. 
Berapa lama 
kami harus menunggu? 
Akankah perang berakhir? 
Untuk tahu semua itu, 
kami memutuskan merakit radio. 
Aksi berisiko tinggi. 
Nyawa taruhannya. 

Kami berhasil. 
Alat itu bagaikan oase 
di tengah padang gurun. 
Namun, kami ibarat bajing 
yang jatuh ketika melompat. 
Kampiten menemukan 
rahasia kami dan gambar 
lintasan kereta api buatanku. 
Ia merasa terancam. 

Teror penyiksaan dilancarkan. 
Kusaksikan 
dengan mata kepala sendiri. 
Tubuhku turut merasakan. 
Kau tahu, 
ketika amarah menggelegak 
dan kau tak kuasa 
melawan pengaruhnya, 
kau akan menjadi budaknya. 
Di luar, wujudmu masih manusia, 
tetapi di dalam 
kau telah berubah menjadi monster. 
Segala jurus kau keluarkan 
untuk menghancurkan lawanmu. 
Gambaran manusia 
sebagai ciptaan termulia Tuhan
tercabik-cabik sudah.
 
Sang Empunya napas kehidupan 
mengizinkanku bertahan. 
Fisikku pulih, 
tetapi tidak demikian jiwaku. 
Puluhan tahun telah berlalu, 
tetapi aku masih saja terpenjara. 
Kebencian bercokol dalam diriku. 
Bayang-bayang kengerian 
dan ketakutan 
di kamp tahanan kala itu, 
berkelebat dalam tidurku, 
silih berganti.

Suatu hari, 
aku membaca 
sebuah berita di surat kabar 
tentang seorang laki-laki Jepang. 
Kau bisa menebaknya. 
Ya, orang itu 
orang yang paling bertanggung jawab 
atas horor trauma pada diriku. 
Inilah saatku membalas dendam.

Kudatangi laki-laki 
yang kini menjadi tour guide itu. 
Bayangkan, ia membawa turis-turis 
ke tempat-tempat 
yang dahulu jadi saksi bisu 
penghancuran martabat 
ribuan manusia! 
Kebencian memberiku kekuatan 
untuk menginjakkan kaki lagi 
di tempat yang menghantui 
malam-malamku.

Aku mencecarnya 
dengan berbagai pertanyaan, 
seperti ia mencecarku kala itu. 
Aku menyebutnya penjahat perang, 
sebagaimana ia menganggapku 
sebagai orang yang tak punya 
harga diri. 
Aku memaksanya 
meletakkan tangannya 
ke atas meja dan bersiap 
menghancurkannya…, 
tetapi... 
aku tak sanggup. 
Aku tak sanggup 
membalaskan dendamku.

Laki-laki itu, ia berubah. 
Dengan sukarela 
ia memberikan tangannya. 
Tak sedikit pun ada niatnya 
untuk menangkis 
atau membalas seranganku. 
Dengan suara terbata-bata, 
ia mengaku, ia telah berbuat dosa. 
Wajah kesakitanku, teriakan 
dan lolonganku minta ampun, 
menghantui hidupnya.

Aku masih marah 
atas perbuatan laki-laki itu, 
tetapi sesuatu di dalam diriku
menolongku 
membatalkan niatku 
membunuhnya.

Waktu berlalu. 
Sepucuk surat tiba di rumahku. 
Laki-laki itu mengajakku 
bertemu lagi.
Di jalan yang dahulu dibuka 
oleh ribuan pekerja paksa, 
kami bertatap muka. 
Ia membungkukkan tubuhnya, 
memberiku hormat sambil berkata, 
“Maafkan saya. Maafkan saya.” 
Kemudian, ia menangis.

Tanpa dapat kucegah, 
tanganku bergerak, 
merangkul bahunya. 
Saat pembebasan 
bagi kami berdua telah tiba. 
Kami, jiwa-jiwa yang terpenjara 
dalam bayang-bayang kelam 
penderitaan akibat amarah 
dan dendam, kini terbebas. 
 “The hating must stop.”

Kebencian itu berakhir. 
Aku dan dia,
dahulu musuh, 
kini jadi sahabat
sampai ajal menjemput. 
Forgiveness is the way.

Diceritakan ulang dari film 
Railway Man, film perang 
produksi Inggris-Australia 
tahun 2013. Film Railway Man 
dibuat berdasarkan autobiografi 
Erik Lomax berjudul sama, 
yang memenangi penghargaan 
Waterstones Esquire Award 
for Non-Fiction, the JR Ackerley Priz
dan the NCR Book Award.

Related Posts

Posting Komentar