Cinta yang Berpikir - Pesan Film "What Maisie Knew"

Sumber: www.imdb.com

Kali pertama melihat sampul film What Maisie Knew, saya langsung tertarik untuk menonton film tersebut. Ekspresi wajah sang anak yang tampak datar-lah yang paling membangkitkan rasa ingin tahu saya. 

What Maisie Knew bercerita tentang kehidupan Maisie, seorang anak perempuan berusia 7 tahun. Kedua orangtua Maisie bekerja. Ayahnya, Beale, adalah seorang dealer seni. Ibunya, Susanna, adalah seorang penyanyi rock.


Kehidupan Maisie mulai berantakan sejak ayah dan ibunya nyaris setiap hari bertengkar. Dan hubungan pernikahan yang tidak harmonis itu kemudian berujung pada perceraian. Paskapengadilan, Maisie hidup berpindah-pindah. Sepuluh hari tinggal bersama ayahnya, sepuluh hari kemudian dengan ibunya. 


What Maisie Knew mengajak pemirsa, khususnya orangtua untuk merenungkan cinta macam apakah yang mereka miliki untuk sang buah hati. 


Zaman kini yang serbamahal memaksa orangtua sibuk bekerja untuk mencari nafkah. Berbeda dari zaman dulu, kini, banyak ibu yang terpaksa turun tangan untuk ikut mencari dana untuk membiayai kebutuhan hidup. Akibatnya, waktu untuk anak berkurang. Orangtua Maisie memang tidak tampak berkurangan materi. Namun, target kesuksesan dalam pekerjaan menyita waktu mereka yang seharusnya menjadi bagian Maisie.


What Maisie Knew mengajak pemirsa (orangtua) untuk memiliki cinta yang berpikir terhadap anak. Banyak orangtua yang mapan secara finansial, kemudian membanjiri anak dengan berbagai hadiah sebagai kompensasi. Cinta mereka diwujudkan dalam bentuk materi. Seperti yang dilakukan Susanna. "I have presents for you in the bus. Let's open your presents," kata Susanna kepada Maisie dengan sumringah. 


Namun, apakah itu yang diinginkan oleh anak dan begitu pula Maisie? Jawabannya: tidak. Maisie menggelengkan kepala ketika sang ibu memaksanya untuk ikut tur. Alasannya sederhana. Ia sudah membuat janji dengan seorang nelayan setempat untuk ikut naik kapal. Impian lama yang ia simpan sejak ayahnya berjanji, akan berlibur naik perahu bersama sang ibu baru, namun tak jua kesampaian lantaran sang ayah kemudian bercerai dari sang ibu baru dan pindah ke luar negeri demi bisnis. 


Anak bukanlah benda mati. Anak memiliki perasaan cinta. Anak mencintai kedua orangtuanya. Itu pula yang ditunjukkan oleh Maisie. Tiap kali orangtuanya bertengkar, Maisie hanya diam. Tidak memihak ayah, tidak juga memihak ibu. Meski sering dititipkan kepada orang lain, Maisie selalu bahagia saat bertemu kembali dengan ayah atau ibunya.


Maisie juga tidak bisa memilih, ikut ayah atau ikut ibu. Ia ingin bertemu dengan keduanya. “Can I see Mom?” tanya Maisie saat saat ayahnya mengajaknya untuk ikut pindah ke Inggris. Mendengar pertanyaan itu, sang ayah menyadari, tidak mungkin membawa Maisie pergi.    


Layaknya manusia dewasa, anak juga punya perasaan sedih. Setabah apa pun anak menanggung perasaan sedihnya, pertahanan emosi anak bisa runtuh juga. Untuk kali pertama, Maisie menitikkan air mata saat ia terpaksa menginap di rumah seorang pelayan restoran tempat Lincoln bekerja, lantaran ibunya harus pergi, sementara Lincoln ternyata tidak masuk bekerja.


Anak membutuhkan kedekatan emosi dengan orangtua. Banyak orangtua mengandalkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan anak mereka: pembantu, kakek/nenek, tante/om, daycare, dll. Mereka lupa bahwa keberadaan mereka di samping anak-lah yang paling utama. Jika orangtua sering digantikan oleh orang lain, maka tak heran, kedekatan emosi dengan orangtua tidak akan terbangun. Dalam kasus Maisie, di tengah kesedihannya itu, Maisie tidak memanggil nama ibunya, melainkan Margo, mantan nanny dan ibu tirinya. Margo yang setia menemaninya beraktivitas.


Maisie pun memiliki kedekatan emosi yang kuat dengan Lincoln karena Lincoln memiliki waktu untuk menggambar dengannya. Lincoln punya waktu untuk membuatkan masakan yang unik untuknya. Lincoln membawanya jalan-jalan, menggendong, dan membiarkannya bergelayutan di tangan. Lincoln membuatnya tertawa. Dan ketika Margo menanyakan pendapat Maisie tentang Lincoln, Maisie dengan lugas menjawab, “I love him.”


Cinta yang berpikirlah yang Lincoln dan Margo pilih untuk mereka berikan kepada Maisie, meskipun Maisie bukanlah anak kandung mereka; meskipun secara hukum, Maisie bukan lagi anak tiri mereka. Lincoln dan Margo bersedia memberikan waktu dan perhatian mereka kepada Maisie sehingga secara sadar dan tegas Maisie memilih untuk tetap tinggal bersama mereka, meskipun sang ibu memaksanya untuk pergi bersamanya. 

Saya memilih untuk memberi anak saya cinta seperti cinta Lincoln dan Margo kepada Maisie. Bagaimana dengan Anda?



*Meski tokoh utama film ini adalah anak-anak, film ini bukan ditujukan untuk anak-anak.

Related Posts

Posting Komentar