Review Film: Leafie, A Hen into the Wild


Image: en.wikipedia.org
Kemarin sore, anak saya minta diputarkan film Leafie. Padahal, malam sebelumnya ia telah menonton film yang berjudul lengkap Leafie, A Hen into the Wild itu. Begitu pula waktu-waktu sebelumnya. Kalau ditotal frekuensinya, mungkin sudah sepuluh kali ia (kami-saya jadi selalu  ikut menonton) menyaksikan film tersebut.

Kali pertama melihat sampul film tersebut, saya menyangka film itu adalah sekuel film Chicken Run karena kavernya sama-sama bergambar ayam. Ternyata dugaan saya meleset. Film tersebut adalah film animasi asal Korea Selatan.

Leafie, A Hen into the Wild mengisahkan Leafie yang bermimpi besar untuk menjalani kehidupan baru. Ia bosan hanya bertelur tanpa mendapat kesempatan untuk menyaksikan telurnya menetas dan melihat anaknya bertumbuh. Ia bosan dengan suasana di dalam kandang ayam petelur. Ia ingin melihat dunia luar, menikmati keindahan bunga-bunga di pohon. Ia ingin mengenal ayam-ayam dan bebek-bebek yang bebas berkeliaran di pekarangan peternakan.  

Leafie, A Hen into the Wild, tampaknya memang punya daya sihir tersendiri terhadap anak saya (juga saya). Meski film disajikan dalam bahasa Korea dan belum bisa membaca, ia dapat memahami alur cerita film tersebut. Bahkan, yang paling mengagetkan saya, film itu bisa membuat anak saya menangis terharu. Padahal, kala pertama ia menonton film itu, ia masih berusia 4 tahun. Kemarin pun, ia kembali menitikkan air mata.

Leafie, demikian nama sang tokoh ayam. Dalam meraih impiannya, ia harus menghadapi berbagai kepahitan. Ia terpaksa tidur di luar sepanjang malam karena diusir oleh "ayam-ayam penguasa", yang mengecam mimpinya untuk hidup di luar peternakan. 

Ia harus kehilangan Wanderer, bebek liar yang menjadi teman terkasihnya sejak kali pertama bertemu.

Ia dicemooh oleh para penghuni everglade karena kehidupannya yang dianggap aneh karena membesarkan anak Wanderer, yang ia namai Greenie.

Leafie, ayam yang setia dan penuh kasih. Kasih sayangnya tak pernah luntur sekalipun Greenie sempat memusuhinya lantaran kesal dijauhi anak-anak bebek lainnya lantaran rupa dan fisik Leafie yang berbeda. 

Tak hanya itu, ia bahkan berani menantang bahaya, menghadapi One-eyed Weasel demi menyelamatkan jiwa Greenie agar Greenie bisa bertahan hidup dan berangkat berimigrasi dengan kawanannya, bebek-bebek liar.    

Perjalanan hidup Leafie, mulai dari dalam kandang sampai akhir hayatnya di alam bebas (everglade), memang mampu mengaduk-aduk perasaan penontonnya. Perasaan sedih, gembira, ngeri, marah, dan kasihan dalam diri tokoh Leafie begitu nyata seakan penonton mengalami sendiri suasana hati tersebut. Kisah Leafie, A Hen into the Wild, menggambarkan besarnya kekuatan impian, cinta dan pengorbanan.

Film Leafie, A Hen into the Wild diangkat dari buku berjudul sama karangan Hwang Sun-mi yang terbit di Korea Selatan tahun 2000. Skenario filmnya ditulis oleh Na Hyun dan Kim Eun-jung. 

Buku dan film Leafie, A Hen into the Wild sama-sama sukses di pasaran. Bukunya laku keras, tidak hanya di negeri asalnya, tetapi juga di luar negeri. Bukunya meraih predikat The Best Book of the Year 2012 dari Granice.pl, sebuah komunitas literatur online ternama di Polandia, sedangkan filmnya memenangkan penghargaan Best Sitges Family Film Diploma tahun 2011 di Festival Film Sitges di Spanyol dan Best Animated Feature Film tahun 2011 di Asia Pacific Screen Awards di Australia. 

Kabar gembira bagi pecinta Leafie, buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Qanita dengan judul Leafie: Ayam Buruk Rupa dan Itik Kesayangannya.



Related Posts

Posting Komentar