Resensi Novel - Berderap Mantap Meraih Impian dalam Novel "12 Menit"





Sudah pernah lihat pertunjukan marching band? Kalau belum, coba deh. Pasti kamu akan terpukau dibuatnya. Dulu, saya hanya lihat marching band di televisi saat siaran upacara peringatan HUT RI di istana negara. Kasihan banget, ya … hihihi … Namun, minggu lalu, saya sangat beruntung! Saya bisa menyaksikan dari dekat pertunjukan marching band di sebuah acara open house sekolah dasar.
Personil marching band yang diturunkan waktu itu hanya sedikit, sekitar 20 orang. Mereka masih kelas 3 dan 4 SD. Jadi, mereka masih sangat muda.
Di bawah komando seorang komandan sebaya, mereka membunyikan beragam jenis alat musik perkusi dan tiup, dreng, dreng, dreng, dung, dung …. Ting, ting, ting, ting …. Tet, tet, tet, tret …. Beberapa orang menari sambil menggerak-gerakkan bendera berwarna-warni, mengikuti irama musik tersebut.
Pertunjukan yang mereka suguhkan mampu membuat semua penonton tak berkedip dan menahan napas. Bagaimana tidak, sambil bermain musik, mereka harus baris-berbaris. Itu pun harus dilakukan bersama-sama. Tidak ada yang boleh menonjolkan diri sendiri karena marching band adalah kegiatan kelompok. Jadi, mereka kudu konsentrasi. Tentu saja kedisiplinan yang tinggi dan latihan yang keras juga dibutuhkan agar penampilan mereka apik dan kompak.
Nah, kedisiplinan yang tinggi serta latihan yang keras mencapai impian inilah yang menjadi tema besar cerita novel “Dua Belas Menit” karangan Oka Aurora.

A-Z tentang Marching Band

Saya acungkan jempol bagi Oka Aurora dan penerbit Noura Books yang telah ‘melahirkan’ novel “Dua Belas Menit”. Saya belum pernah membaca cerita tentang marching band sebelum memiliki novel tersebut. Makanya, setelah membaca novel “Dua Belas Menit”, wawasan saya tentang dunia marching band jadi bertambah. Saya jadi tahu nama-nama unit yang terdapat dalam marching band, nama jenis alat musik yang digunakan, nama teknik memukul perkusi, serta nama gerakan yang harus dikuasai oleh field commander, pemimpin marching band saat tampil di lapangan.
Hampir semua istilah tersebut disajikan dalam bahasa Inggris. Bisa jadi karena belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia dan sudah dianggap mendunia. Namun, pembaca tidak perlu khawatir karena istilah-istilah tersebut dirangkum dalam glosarium di bagian belakang buku.
Saya juga jadi tahu kalau menjadi anggota marching band ternyata tidak mudah, lho. Bakat bermusik bukanlah satu-satunya modal yang harus dimiliki seseorang yang ingin menjadi anggota marching band. Ia juga harus punya kemauan kuat untuk mengikuti latihan yang keras: latihan dasar-dasar bermusik dan baris-berbaris.
Para anggota harus tahan dan tabah berdiri berjam-jam di bawah terik sinar matahari sebanyak tiga kali seminggu. Belum lagi jika alat musik yang dimainkan memiliki berat minimal 1 kg dan harus disandang. Dijamin, pundak jadi terasa pegal-pegal. Atau bibir jadi perih dan rahang kaku serta nyeri karena meniup alat musik berulang kali.
Selain itu, keanggotaan di marching band juga berjenjang. Anggota baru ditempatkan terlebih dulu di cadet band dan mengikuti latihan yang sama. Setelah lolos audisi, ia baru boleh menjadi anggota inti.

Menghadapi Tantangan untuk Meraih Impian

Selain mengangkat kehidupan marching band, novel “Dua Belas Menit” memiliki misi mulia, yaitu memberi inspirasi dan motivasi kepada pembaca agar terus berjuang meraih impian meskipun aral melintang.
Dikisahkan, Bontang, sebuah kota kecil di pesisir timur Kalimantan Timur, yang jauh dari hiruk-pikuk ibukota negara Indonesia, memiliki sebuah marching band bernama Marching Band Bontang Pupuk Kaltim.
Tara, Elaine dan Lahang, tiga orang anggota serta Rene, sang pelatih marching band tersebut menjadi tokoh utama cerita. Mereka sama-sama punya impian. Namun, impian mereka tidak mudah diraih. Mereka harus berjuang menghadapi rintangan yang menghadang.
Tara sudah suka drum sejak kecil. Di Bontang, ia ingin menjadi anggota inti marching band, menjadi pemain snare drum. Namun, ia harus bekerja berpuluh kali lipat lebih keras dari teman-temannya. Kecelakaan lalu-lintas yang ia alami merenggut 80% kemampuan pendengarannya sehingga ia harus memakai alat bantu dengar. Kecelakaan itu juga merenggut nyawa ayahnya. Tara jadi suka menyalahkan dirinya; ia penyebab kecelakaan itu terjadi. Ia juga hidup terpisah dari ibunya yang menuntut ilmu di luar negeri agar kehidupan mereka kelak bisa lebih baik.
Kehidupan Elaine tampak sempurna. Ayah dan ibunya masih lengkap dan ia tinggal bersama mereka. Ayahnya punya jabatan tinggi di kantor. So, sudah pasti segala fasilitas tersedia bagi Elaine. Namun, kehidupan memang tidak selalu berjalan mulus. Elaine ingin mendalami musik. Oleh sebab itu, ketika ia ikut pindah ke Bontang, ia memutuskan bergabung dengan marching band di sana. Namun, ayahnya menentang keras keputusan Elaine. Menurutnya, musik bukanlah hal yang perlu ditekuni.
Lahang adalah anak suku Dayak, suku di Kalimantan. Di satu sisi, Lahang ingin mewujudkan impian almarhum ibunya: menjejakkan kaki di ibukota negara dan melihat tugu Monas. Satu-satunya cara adalah dengan ikut Grand Prix Marching Band (GPMB), sebuah perlombaan akbar tahunan marching band se-Indonesia di Jakarta. Namun, di sisi lain, ia tidak ingin meninggalkan ayahnya yang sedang menanti ajal menjemput karena penyakit.
Rene punya segudang prestasi dalam marching band sehingga dipercaya menjadi pelatih marching band di luar negeri maupun di dalam negeri. Ketika Rene menjadi pelatih marching band Bontang, ia menghadapi tantangan besar, yaitu menanamkan kepercayaan diri pada para anggota marching band Bontang bahwa jika mereka mau, mereka dapat menjadi sehebat marching band di Jakarta.

Tak Ada Naskah yang Tak ‘Retak’

Tak ada naskah yang tak ‘retak’, demikian pendapat Bambang Trim, seorang editor, penulis, dan writerpreneur. Artinya, tak ada naskah yang sempurna, 100% bebas dari kekurangan, termasuk novel “Dua Belas Menit”.
Penamaan beberapa bab novel ini kurang pas. Empat belas dari kelima puluh bab novel memiliki judul dalam bahasa Inggris. Tujuh di antaranya memang merupakan kutipan ucapan atau pikiran tokoh cerita yang memang dinyatakan dalam bahasa Inggris, istilah dalam marching band, nama gubahan musik, dan nama marching band di Amerika. Jadi, menurut saya, wajar-wajar saja.
Namun, tujuh sisanya seharusnya bisa ditulis dalam bahasa Indonesia: “Another Flight” (hlm. 24), “The Musical Ear” (hlm. 27), “It’s All Falling Apart” (hlm. 119), “That Little Black Dress” (hlm. 144). “Whatever Makes You Happy” (hlm 162), “Another Dilema” (hlm. 199), dan “Think Like A Champion, And Fight Like One!” (hlm. 305). Selama masih bisa diberi judul bahasa Indonesia, mengapa kita harus memakai bahasa asing? Apalagi judul “Whatever Makes You Happy” dan “Think Like A Champion, And Fight Like One!” sudah ada bahasa Indonesianya di dalam isi bab bersangkutan (lihat hlm. 166, paragraf ke-2 dan hlm. 307, paragraf ke-6).
Penggunaan bahasa asing juga rentan salah penulisan, seperti “Another Dilema”. Dilema adalah versi bahasa Indonesia, sedangkan bahasa Inggrisnya adalah dilemma. Begitu pula dengan judul “Another Flight”. Tata bahasa Indonesia mengatur bahwa semua kata asing harus ditulis miring. Namun, judul tersebut ternyata tidak dicetak miring, baik di daftar isi (hlm. XI) maupun di bab bersangkutan (hlm. 24).
Bab ke-4 diberi judul “Violin Concerto in D Major”, yang merupakan karya musik gubahan seorang komponis. Namun, bagi pembaca yang tidak pernah bersentuhan dengan musik, apalagi musik klasik, judul bab tersebut bisa menimbulkan tanda tanya. Mengapa bab tersebut diberi judul demikian? Apakah “Violin Concerto in D Major” adalah gubahan musik bertempo lambat dan sedih, sehingga pantas menggambarkan suasana hati Elaine yang juga sedih karena harus meninggalkan semua yang ia sayangi di sekolah lamanya?
Bab ke-8 diberi judul “Panggil Aku Toyib”. Memang, salah satu kontestannya bernama Toyib. Namun, judul tersebut bisa mengalihkan perhatian pembaca dari inti cerita di bab bersangkutan, yaitu audisi untuk mengisi posisi yang kosong di marching band Bontang Pupuk Kaltim; bagaimana ruwetnya pikiran Rene saat menghadapi kontestan-kontestan yang menurutnya tidak berkualifikasi juga perasaan bahagia Tara karena lolos audisi.
Saya juga menemukan ketidaksamaan informasi mengenai jumlah personil marching band Bontang Pupuk Kaltim. Seratus tiga puluh orang (hlm. 198) atau seratus dua puluh (hlm. 208)? Apakah jumlah yang pertama disebut merupakan jumlah total anak dan semua pelatih?
Ada pula kejanggalan dalam alur cerita. Di bab 18, Rene dikisahkan tidak mengenal Tara. Ia bertemu dengan Tara secara tak sengaja di dalam hutan lindung dan terkesan dengan permainan drum Tara. Padahal di halaman 40, Rene langsung menyapa Tara, begitu Tara masuk ke ruang audisi. Artinya, Rene sudah kenal dengan Tara. Maka saya berkesimpulan, bab 18 merupakan cerita kilas balik. Sayangnya, penulis tidak memberikan keterangan apa pun bahwa bab itu merupakan kilas balik sehingga pembaca yang tidak jeli, pasti akan kebingungan karena menyangka cerita tersebut terjadi di masa kini.
Kejanggalan berikutnya ada dalam sebuah kalimat di halaman 163: “Mereka duduk berdampingan, diam memerhatikan patung Bunda Maria yang masih juga tersenyum sabar walau telah disampahi segala macam.” Membaca kalimat tersebut, saya jadi bertanya-tanya, apakah ada banyak sampah yang menempel di patung Bunda Maria? Ataukah kalimat itu bermakna konotatif? Jika konotatif, mengapa kata ‘sampah’ yang dipilih? Apakah orang berbicara kepada Bunda Maria hanya saat sedih atau gundah gulana?
Ketidaklengkapan informasi juga saya temukan di halaman 101. Diceritakan bahwa Pemeliatn, dukun orang Dayak di kampung Lahang menyimpan sebilah mandau bernoda darah kering dan bahwa ia punya hutang budi. Namun, tidak ada penjelasan lebih lanjut darah apa atau siapakah yang membekas di mandau sang Pemeliatn, apa hubungan mandau itu dengan ayah Lahang serta mengapa dan kepada siapa Pemeliatn berhutang budi.
Kekurangan berikutnya adalah lay-out bagian bawah halaman 236. Ada kelebihan 3 baris sehingga kalimat terakhir bersinggungan dengan nomor halaman.

Yang terakhir, yang menurut saya sangat penting adalah perlunya kamus bergambar untuk menjelaskan bentuk alat-alat musik yang disebutkan dalam novel “Dua Belas Menit” seperti tuba, euphonium, mellophone, french horn, quarto, cymbal, marimba, dan vibraphone.
All of our dreams can come true if we have the courage to pursue them.” (Walt Disney). Terlepas dari segala kekurangannya, novel “Dua Belas Menit” layak dan patut dibaca bagi mereka yang memerlukan motivasi agar terus bersemangat meraih impian karena novel “Dua Belas Menit” adalah kisah yang membuktikan kebenaran pendapat bijak tersebut. Tunggu apa lagi? Ayo, berderap mantap meraih impianmu!

* Resensi ini berhasil menjadi salah satu dari 12 resensi terbaik pilihan juri lomba menulis resensi novel 12 Menit

Related Posts

Posting Komentar