Review Film "Minah Tetap Dipancung"



Tahun lalu, saya berkenalan dengan yang namanya puisi esai. Perkenalan itu diawali dengan keikutsertaan saya dalam lomba review film yang dibuat berdasarkan puisi esai "Atas Nama Cinta" karya Denny JA.
Meski tidak berhasil memenangi lomba tersebut, saya merasa senang karena pengetahuan saya bertambah.
Saya memilih topik permasalahan TKI wanita di luar negeri karena saya peduli terhadap nasib perempuan.

Potret Kelam TKI, Pejuang Devisa dalam Film "Minah Tetap Dipancung"

 Minah Tetap Dipancung. Membaca judul film pendek karya Denny JA dan Hanung Bramantyo tersebut, saya menaruh simpati terhadap Minah karena di zaman modern begini, ia masih terkena hukuman pancung, yang menurut saya tidak manusiawi. Hanya sebatas itu.
Namun, perasaan saya berubah ketika menonton film tersebut. Saya terenyuh. Rasa simpati saya berubah menjadi empati. Saya menangis menyaksikan nasib Minah dan keluarganya. Bahkan, ketika saya menonton Minah Tetap Dipancung untuk kali kedua, saya kembali menangis.
Minah Tetap Dipancung berkisah tentang kehidupan Aminah (Minah). Meski ceritanya fiktif—ditulis demikian di akhir film—tetapi sesungguhnya merupakan gambaran dari kehidupan nyata banyak perempuan Indonesia yang terhimpit tuntutan ekonomi. Biaya kebutuhan hidup tinggi, tetapi penghasilan tidak mencukupi. Ingin mendapat pekerjaan yang mendatangkan penghasilan lebih besar, tetapi pendidikan dan keterampilan tidak memadai. Tak punya pilihan, maka mereka menjadi TKI. Tepatnya, jadi TKI informal atau Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT)—meminjam istilah keren BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia)—atau Pembantu/Asisten Rumah Tangga (PRT/ART) yang bekerja di luar negeri.
Para perempuan yang hanya mengandalkan penghasilan pas-pasan suami pun mengalami tekanan yang sama. Minah salah satunya. Ia tinggal di sebuah desa di Cirebon bersama suami dan anak perempuannya, Aisyah. Minah adalah ibu rumah tangga, sedangkan suaminya, asumsi saya, bekerja sebagai buruh tani. Aisyah sangat ingin bersekolah, tetapi tidak bisa sekolah karena orang tuanya tidak punya cukup uang.
Dengan niat mulia, ingin menyekolahkan Aisyah, Minah membuka kembali selembar kertas yang ia simpan. Kertas berisi informasi penting dan menggiurkan: INGIN BERPENGHASILAN LEBIH? SEGERA DAFTARKAN DIRI ANDA UNTUK MENJADI TKW KELUAR NEGERI.
Maka, berbekal izin dari suaminya dan uang pinjaman dari ayahnya hasil menggadaikan sawah, Minah mendaftarkan diri menjadi  TKW.
Proses pendaftaran di Penyalur Tenaga Kerja Keluar Negeri yang Minah datangi mudah. Setelah membayar uang pendaftaran, dokumen pun disiapkan. Ia tinggal menandatangani. Minah optimistis akan dapat meraih impiannya. Apalagi petugas penyalur tenaga kerja berkata, “… Nanti, kalau situ sudah kerja, gajinya besar.”  
Persiapan yang harus ia lalui pun tergolong singkat. Belajar melafalkan dan menghapal kosa kata bahasa Arab serta berlatih mengerjakan tugas rumah tangga. Persis seperti ucapan sang petugas di hari pendaftaran, “Setelah seminggu pelatihan, langsung berangkat.”
Adegan-adegan tersebut menggambarkan realita kinerja PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) yang asal-asalan menyiapkan para calon TKI untuk bekerja di luar negeri. Penyebabnya tidak lain karena BNP2TKI tidak melaksanakan tanggung jawabnya mengawasi mereka. BNP2TKI juga tidak menetapkan standardisasi mengenai materi yang harus diajarkan, jangka waktu pendidikan, dan tak kalah pentingnya, kompetensi tenaga pengajar para calon TKI.
Tidak hanya itu. Banyak TKI berangkat ke luar negeri tanpa kontrak kerja yang jelas. Kontrak yang mengatur hak serta kewajiban TKI dan majikan menyangkut hari dan jam kerja, jumlah dan jadwal pembayaran upah, serta sanksi jika salah satu pihak melanggar kesepakatan.
Yang menjadi korban, tentu saja para TKI ketika sudah berada di rumah majikan. Ada yang disiksa majikan karena majikan tidak puas terhadap kinerja TKI yang ia pekerjakan. Ada juga majikan yang jadi uring-uringan lantaran TKI tidak juga mengerti maksud majikan akibat TKI tidak menguasai bahasa. Belum lagi masalah akibat ketidakpahaman mengenai perbedaan budaya.
Minah mengalami masalah-masalah itu. Di Arab, Minah bekerja dengan rajin. Namun, kehidupan normal tidak ia raih. Sehari-hari ia hanya tinggal di dalam rumah. Tidak ada interaksi dan komunikasi dengan dunia luar, bahkan dengan keluarganya. Gaji yang ia harap-harapkan, pun tak kunjung ia terima. Ia tidak tahu kepada siapa ia harus mengadu. PJTKI tempat ia melamar pun tidak bisa memberi jawaban kepada suami dan ayahnya ketika mereka datang menanyakan keadaannya setelah 9 bulan tidak menerima kabar darinya.
Orang Indonesia terkenal ramah. Minah juga. Ia suka tersenyum. Namun, ia tidak pernah diberi tahu bahwa di Arab, senyuman seorang wanita dapat disalahartikan oleh pria Arab sebagai godaan. Betul saja, majikan pria Minah mengira Minah menggodanya. Sang majikan pria mulai berusaha mendekati Minah. Suatu hari, ia memerkosa Minah. Dan kemudian, kekerasan seksual yang dialami Minah berlangsung berkali-kali.
Penderitaan Minah belum berakhir. Ketika ia mengadukan kejahatan majikan pria kepada majikan perempuan, ia malah mengalami siksaan fisik dan mental. Dipukuli, dijambak, tidak diberi makan, dan dituduh menggoda.
Suatu hari, karena ingin membela diri saat hendak diperkosa lagi, Minah menusuk sang majikan pria hingga tewas. Kemudian, Minah dijebloskan ke dalam penjara akibat perbuatannya.
Meski mengalami kekerasan seksual berulang kali, meski membunuh untuk membela diri, meski didampingi kuasa hukum dari negeri sendiri,  Minah tidak mampu membebaskan diri dari hukum Arab ‘nyawa ganti nyawa’. Minah tetap dipancung.
Ketika hendak dipancung, Minah menangis sambil membayangkan Aisyah berlari di pinggir sawah dengan seragam putih merahnya. Impian dapat menyekolah anak tak diraih, nyawa malah melayang sia-sia. Sungguh menyedihkan. Tragis.
Film Minah Tetap Dipancung menampilkan potret kelam TKI, khususnya TKI informal. TKI mendapat predikat mulia pejuang devisa, tetapi pada praktiknya didiskriminasi oleh negara. TKI tidak mendapat perlakuan yang sama seperti WNI lainnya. Negara tidak mampu memberikan perlindungan hukum terhadap TKI, yang seharusnya sudah dimulai sejak perekrutan.  
Selama belum ada Undang-Undang Perlindungan TKI, selama BNP2TKI tidak melakukan pengawasan serius dan terpadu terhadap kinerja PJTKI, selama Kemenlu, KBRI, dan KJRI belum optimal melaksanakan fungsi dan perannya, selama belum ada perjanjian bilateral dengan pemerintah negara-negara tujuan penempatan TKI yang menjamin hak-hak TKI, Minah-Minah lainnya masih akan terus bermunculan. 
Film Minah Tetap Dipancung yang dibuat berdasarkan puisi esai Denny JA Atas Nama Cinta, didukung oleh Indra Kobutz (sutradara), Novia Faizal (penulis naskah), Vitta Mariana (pemeran Aminah), Saleh Ali (pemeran majikan pria), Farah Hatim (pemeran majikan perempuan), Aryadila Yarosiry (pemeran suami Aminah), Syifa (Aisyah), dan Peggi Melati Sukma (penyair).

Related Posts

Posting Komentar