Lomba Resensi: Kumpulan Kisah “Sahabat Kecil” yang Menakjubkan

Sumber: www.gramediaonline.com



Sedikitnya ada dua alasan saya membeli Kumpulan Kisah “Sahabat Kecil yang Menakjubkan. Pertama, karena ilustrasinya menawan hati. Tepat seperti pendapat Diana Mitchell dalam bukunya “Children’s Literature”: “… Picture books ... touch our emotions, delight our senses … Picture books invite us to curl up and read them.”
Kedua, karena penulisnya, Arleen Admijaja, seorang wanita yang berhasil merealisasikan impiannya menyediakan bacaan dwibahasa yang berkualitas bagi sang buah hati. Arleen, seorang ibu yang menuliskan cerita untuk anaknya. Hebat, bukan?
Buku Kumpulan Kisah “Sahabat Kecil yang Menakjubkan terbitan BIP ini, memuat sepuluh kisah tentang sahabat. Sahabat yang Arleen maksud adalah benda-benda mati yang sering dijadikan teman bermain anak-anak.
Seperti dalam dongeng-dongeng pada umumnya, di mana sesuatu yang tidak lazim di dunia nyata menjadi lazim, benda-benda mati dalam buku ini diberi perasaan dan kemauan untuk berbuat sesuatu layaknya makhluk hidup. Benda-benda tersebut adalah hiasan kupu-kupu kaca, yoyo plastik, lilin berbentuk putri, burung kertas, bebek karet, penari kotak musik, sendok perak kecil, tas kain, hiasan apel porselen, dan kuda kayu.
Buku ini memiliki tiga pesan besar, yaitu menerima diri sendiri (cerita The Glass Butterfly, The Plain Silver Spoon, dan The Cloth Bag), bersyukur karena dicintai (cerita The Plastic Yoyo, The Wax Princess, dan The Rubber Duck), serta merasakan indahnya berbuat sesuatu untuk orang lain (cerita The Paper Bird, The Musicbox Dancer, The Porcelain Apple, dan The Wooden Horse).
Tidak ada naskah yang tidak retak, demikian menurut Bambang Trim, seorang writerpreneur, penulis sekaligus pemilik usaha pengembangan konten dan konteks buku. Dari kesepuluh “sahabat kecil” dalam buku ini, hiasan kupu-kupu kaca, hiasan apel porselen, dan lilin berbentuk putri tidak dapat dikategorikan sebagai “sahabat” anak-anak. Ketiganya tidak dekat dalam keseharian anak usia 3-6 tahun, yang menjadi target pembaca buku ini. Benda-benda berbahan kaca atau porselen biasanya justru dijauhkan dari jangkauan anak-anak karena mudah pecah dan pecahannya bisa membahayakan keselamatan mereka. Lilin hiasan kue ulang tahun pun hanya muncul ketika ada perayaan ulang tahun.
Saya juga menemukan kejanggalan dalam alur cerita The Wax Princess (hlm. 41-60) dan The Rubber Duck (hlm. 81-100).
The Wax Princess berkisah tentang beraneka lilin hiasan kue ulang tahun di sebuah toko. Di awal cerita disebutkan bahwa sang putri dan rakyatnya bisa hidup bahagia selamanya. Namun, ketika tokoh pemilik toko datang, sang putri justru menyodorkan dirinya untuk ikut diambil. Bagi saya, meninggalkan rakyat agar bisa menyaksikan sendiri suasana pesta para manusia, berarti mengutamakan kepentingan pribadi. Tindakan sang putri tidak mencerminkan rasa syukurnya dicintai rakyat.
The Rubber Duck bercerita tentang sebuah bebek karet yang suka meninggalkan pemiliknya, seorang nona kecil. Suatu hari, bebek karet tertinggal di pantai, sementara pemiliknya sudah naik kapal untuk pulang dan kapal sudah berangkat. Sang bebek lalu berusaha mengejar kapal. “Tapi ia hanyalah sebuah bebek karet. Tidak mungkin ia bisa mengejar kapal pesiar yang besar. Setelah beberapa lama, ia mulai putus asa,” (hlm. 98).
Namun, tiba-tiba langsung diceritakan bahwa si nona kecil melihat si bebek karet. Tidak ada penjelasan bagaimana si bebek akhirnya bisa mendekati kapal. Apakah kapal pesiarnya berhenti? Ataukah sebelumnya di laut terjadi ombak besar terus-menerus?  
Kesalahan tata bahasa juga terjadi dalam buku berdwibahasa ini. Semua cerita dalam buku ini memang terjadi di masa lampau (past tense). Namun, beberapa kata kerja yang menyatakan kondisi sekarang dalam ujaran langsung, seharusnya tetap ditulis dalam bentuk present tense. Ngengat yang mengeluh, “…no matter what I do to them, they remained ugly.” (Hlm. 5). Kupu-kupu kaca yang mengaku, “I never dared to try…” (Hlm. 10).
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Kumpulan Kisah “Sahabat Kecil” yang Menakjubkan tetap menjadi salah satu buku favorit saya dan anak saya yang masih berusia 5 tahun. Buku yang saya bacakan kepada buah hati saya setiap malam sebelum ia tidur. Buku yang mudah-mudahan membuatnya semakin senang berada dalam dunia imajinasi kanak-kanak yang serbaindah dan tak mengenal kata mustahil.

* Resensi ini saya tulis untuk diikutsertakan dalam lomba meresensi buku cerita anak dalam rangka perayaan ultah komunitas Forum Bacaan Anak tahun 2012. Tulisan ini memenangi juara 2.

Related Posts

1 komentar

Posting Komentar